UNIVERSALITAS ISLAM

BAB I

PENDAHULUAN 

  1. Latar Belakang

Perbedaan merupakan suatu hal yang tidak bisa dinafikan, perbedaan dalam hal apapun. Dalam berbeda pendapat, orang sering memaksakan kehendak dan menganggap pandangan yang dikemukakannya sebagai satu-satunya kebenaran, dan karenanya ingin dipaksakan kepada orang lain. Cara seperti ini tidak rasional. Sebaliknya, pandangan spiritual yang irrasional dapat ditawarkan kepada orang lain tanpa paksaan, dengan dalih itu pengalaman pribadi yang tidak perlu diiikuti orang. Kebenarannya baru akan terjadi jika hal-hal irrasional itu benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata.[1]

Pemaksaan kehendak dalam bentuk pemaksaan tafsiran sangatlah bertentangan dengan hakikat Hak Asasi Manusia. Dan dengan sendirinya, hal itu akan ditolak. Dan karena itulah muncul yang namanya “Kebenaran Relatif”. Setiap orang memilki pandangan masing-masing yang dianggapnya paling benar, meskipun belum tentu- atau bahkan tidak- pandangan tersebut sama dengan orang lain.

Perihal inilah yang sering menimbulkan permasalahan dalam Islam. Seperti halnya penulisan huruf  (i) dalam kata “Islam”. Penulisan dengan huruf kapital (I) mengandung arti bahwa islam sebagai agama. Sedangkan penulisan dengan huruf kecil (i) mengandung arti tentang ajaran-ajaran islam yang universal. Karena itulah perlu adaya pemahaman yang benar. Agar tidak menimbulkan perpecahan yang nantinya akan sangat berpengaruh pada hakikat kehidupan manusia di dunia.

Oleh karena itu, penulis pada makalah ini akan membahas tentang rumusan masalah mengenai perihal tersebut.

2. Rumusan Masalah

  • Apa Sajakah Ruang Lingkup Islam sebagai Ajaran Universal?
  • Bagaimanakah Hakikat Kehidupan Manusia?

Tujuan dan Manfaat

  • Tujuan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi persayaratan LK II oleh HMI Cabang Jombang.

  • Manfaat

Semoga makalah yang telah dibuat oleh penulis ini, memiliki manfaat bagi para pembaca yang ingin mengetahui lebih dalam tentang Islam sebagai ajaran yang universal dan hubungannya dengan hakikat kehidupan manusia.

BAB II

PEMBAHASAN 

  1. Ruang Lingkup Islam sebagai Ajaran Universal

Islam sebagai ajaran yang haq dan sempurna hadir di bumi diperuntukkan untuk mengatur pola hidup manusia agar sesuai fitrah kemanusiaannya, yakni sebagai khalifah di muka bumi dengan kewajiban mangabdikan diri semata-mata ke hadirat-Nya.

Iradat Allaw Swt., kesempurnana hidup terukur dari personality manusia yang integratif antara dimensi dunia dan ukhrawi, individu dan sosial, serta iman, ilmu dan amal yang semuanya mengarah terciptanya kemashlahatan hidup di dunia, baik secara individual maupun kolektif.

Secara normatif Islam tidak hanya sekedar agama ritual yang cenderung individual, akan tetapi merupakan suatu tata nilai yang mempunyai komunitas dengan kesadaran kolektif yang memuat pemahaman/kesadaran, struktur dan pola aksi bersama demi tujuan-tujuan politik.

Substansi pada dimensi kemasyarakatan, agama memberikan spirit pada pembentukan moral dan etika. Islam menetapkan Tuhan dari segala tujuan, menyiratkan perlunya peniru etika ke Tuhanan, meliputi sikap rahmat (pengasih), barr (pemula), ghafur (pemaaf), rahim (penyayang), dan ihsan (berbuat baik). Totalitas dari etika tersebut menjadi kerangka pembentukan manusia yang kafah (tidak boleh mendua) antara aspek ritual dengan aspek kemasyarakatan (politik, ekonomi dan sosial budaya).

Islam sebagai ajaran universal sangatlah menjunjung tinggi nilai kemasyarakatan, dimana Islam memiliki ajaran yang cocok untuk seluruh kalangan masyarakat dimanapun ia tinggal (tempat) dan sampai kapanpun (zaman).

       Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa, nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad Saw., diutus Allah Swt. untuk menghadapi kaum mereka masing-masing. Misalnya saja Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi Isa yang diutus oleh Allah kepada Bani Israil. Atau Nabi Shaleh yang khusus diutus Allah untuk kaum Tsamud, seperti yang tertera dalam surat Al-Naml ayat 45:

وَلَقَدْ اَرْسَلْنَااِلَى ثَمُوْدَاَخَاهُمْ صَلِحًااَنِ اعْبُدُ فَاِذَاهُمْ فَرِيْقَنِ يَخْتَصِمُوْنَ

Artinya:

“Sesungguhnya kami telah mengutus kepada (kaum) Tsamud saudara mereka Shaleh (yang berseru): “Sembahlah Allah.” Tetapi tiba-tiba mereka (menjadi) dua golongan yang bermusuhan.”[2]

Ayat di atas ialah salah satu contoh ayat al-Qur’an yang menerangkan bahwa setiap nabi diutus khusus untuk kaumnya, kecuali Nabi Muhammad SAW.. Adapun Nabi Muhammad diutus untuk seluruh umat manusia sebagaimana yang telah disebutkan pada surat Al-Saba’ ayat 28:

وَمَا اَرْسَلْنَكَ اِلاَّ كَاّفّةً لِلنَّاسِ بَشِيْرًاوَّنَذشيْرًاوَّلَكِنَّ اَكْثَرَالنَّا سِ لاَيَعْلَمُوْنَ

Artinya:

“Tidaklah kami utus engkau kecuali untuk membawa kabar baik dan peringatan bagi seluruh manusia, tetapi kebanyakan orang tidak tahu.”[3]

Maka Nabi Muhammad pun menyampaikan agama yang dibawanya tidak hanya kepada kaumnya (Quraisy). Namun, juga kepada suku-suku Arab lainnya. Setelah bangsa Arab yang berada di semenanjung Arabia menerima ajaran yang dibawanya, Nabi Muhammad mengirim utusan dengan surat ke Raja Persia, Raja Ethiopia, penguasa Aleksandria, Muwaqis, dan Gubernur Bizantium di Busra.

Menyampaikan Islam ke negara-negara lain, selain Arab yang berada di semenanjung Arabia, dilanjutkan Khalifah Abu Bakar. Tetapi, usaha itu baru banyak berhasil pada zaman Khalifah Umar bin Khattab. Pada masa pemerintahannya (634-644 M) ajaran Islam telah sampai ke Mesir, Palestina, Suriah, Irak dan Persia. Pada masa Dinasti Umayyah seruan Islam diteruskan lagi ke Spanyol dan Prancis di Eropa, melalui Afrika Utara, ke Cina melalui Asia Tengah dan India melalui Afghanistan. Pada masa-masa sesedahnya, Islam masuk ke Eropa Timur sampai ke perbatasan Wina, dan Asia Tenggara sampai ke Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Di Afrika bagian Utara dan Selatan, Islam dianut oleh manusia dalam berbagai bahasa, adat istiadat, dan kebudayaan. Tetapi sungguhpun demikian kesemuanya disatukan oleh Al-qur’an. Islam telah menjadi agama universal.

Sabagai agama universal, Islam mengandung ajaran-ajaran dasar yang berlaku untuk semua tempat dan zaman. Ajaran-ajaran dasar yang bersifat universal, absolut, mutlak benar, kekal, tidak berubah dan tidak boleh diubah itu – jumlahnya menurut para ulama- hanya kurang lebih 500 ayat atau kurang lebih 14 % dari seluruh ayat Al-qur’an. Perincian tentang maksud dan pelaksanaan ajaran-ajaran dasar yang terkandung dalam Al-qur’an itu disesuaikan dengan  situasi dan kondisi tempat dan zaman tertentu. Dengan demikianlah timbullah aliran-aliran dan mazhab-mazhab dalam ajaran-ajaran Islam.

Dalam akidah atau teologi, timbul lima aliran, yaitu: Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah dan Asy’ariyah, serta Maturidiyah. Dalam fiqih atau hukum Islam, muncul empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Dalam politik lahir tiga aliran; Sunni, Khawarij, dan Syi’ah. Dalam tasawuf tampil dua aliran: Sunni dan Syi’ah. Dalam filsafat timbul aliran Al-Ghazali, aliran Al-Farabi, dan Ibn Rusyd. Aliran dan mazhab yang berbeda-beda itu timbul sesuai dengan situasi dan kondisi tempat serta zaman masing-masing.

Karena semuanya adalah penafsiran dan penjabaran dari ajaran-ajaran dasar al-Qur’an, maka semuanya berada dalam kebenaran. Tidak dibenarkan bahwa hanya satulah dari mazhab dan aliran yang berbeda-beda itu yang benar dan yang lainnya salah. Mengenai kenyataan ini hadist Nabi mengatakan: “perbedaan di kalangan umatku adalah rahmat”.

Kecenderungan manusia berbeda-beda, maka dalam aliran dan mazhab yang berbeda-beda itu, orang bisa menjumpai yang cocok dengan dirinya. Dalam hal itu, semuanya dalam kebenaran, sehingga Islam yang dasarnya satu, yaitu al-Qur’an-berbeda-beda coraknya. Belakangan timbul istilah ‘Islam Mesir’, ‘Islam Saudi Arabia’, ‘Islam Iran’, ‘Islam Pakistan’, ‘Islam Indonesia’, ‘Islam Malaysia’, dan sebagainya. Yang dimaksud dengan istilah-istilah itu adalah bahwa di dalam Islam terdapat ajaran-ajaran yang bersifat universal, tetapi penafsiran dan cara pelaksanaan ajaran-ajaran universal itu berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain.

Kebudayaan setempat besar pengaruhnya pada penafsiran dan pelaksanaan ajaran-ajaran pokok yang bersifat unversal itu. Sebagai contoh dapat disebut pelaksanaan kewajiban berpuasa bulan Ramadlan. Di Indonesia malam-malam Ramadlan diisi dengan shalat tarawih beramai-ramai sehingga masjid-masjid ramai dengan jama’ah. Tetapi setelah itu orang pergi tidur seperti biasa. Di dunia Arab malam-malam Ramadlan berubah, menyerupai siang. Kegiatan di dalam dan di luar rumah berlangsung sampai subuh. Idul fitri di Indonesia di Indonesia dirayakan dengan halal bihalal, dan di Mesir dirayakan dengan beramai-ramai berkunjung ke kuburan keluarga masing-masing. Di kuburanlah ucapan saling memaafkan disampaikan. Di Indonesia hukum fiqih yang umum dipakai adalah hukum fiqih Imam Syafi’i, tetapi di Mesir  umapamanya, keempat hukum fiqih (Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan Hambali) telah dipakai.

Di indonesia, toleransi bermazhab kurang dijumpai hingga sering terjadi pertentangan antara masing-masing penganut mazhab, sedangkan di Mesir pertentangan mazhab-mazhab tersebut tidaklah kelihatan. Umat Islam di Indonesia menekankah ibadah sehingga keislaman seseorang dinilai dari pelaksanaan ibadahnya. Di Mesir yang ditekankan adalah iman, sehingga keislaman seeorang diukur dari keimanan melalui ucapan syahadat. Jadi, ajaran dasar Islam bersifat universal, tetapi penafsiran dan cara pelaksanaannya bercorak lokal. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan: Islam adalah agama yang sesuai dengan semua tempat dan segala zaman.[4]

Contoh keuniversalan ajaran Islam, ditinjau dari zaman, adalah konsep musyawarah yang disebut dalam Al-Qur’an. ayat mengatakan: Bermusyawaralah dengan mereka. Penjelasan tentang musyawarah tidak ada dala Al-Qur’an. Maka dalam sistem pemerintahan monarki Islam masa silam, musyawarah dilaksanakan melalui raja dengan meminta pendapat dari pembantu-pembantu dekatnya, dan setelah mempertimbangkan pendapat-pendapat itu ia kemudian mengambil keputusan.  Di zaman demokrasi pemerintah republik yang sekarang umum terdapat dalam pemerintahan Islam, musyawarah dilakukan di DPR. Dalam pada itu pengambilan keputusan berbeda-beda pula dari satu negara ke negara Islam yang lainnya. Kita di Indonesia memakai sistem mufakat, sedang di dunia Islam lain dipakai sistem suara terbanyak.

Keuniversalan Islam digambarkan juga oleh ilmu yang dikembangkan ulama Zaman Klasik, yaitu zaman antara abad ke-8 dan 13 M. Seperti dibuktikan oleh sejarah, yang dikembangkan oleh ulama Islam di zaman itu bukan hanya ilmu-ilmu seperti tafsir, hadis, fiqih, tauhid, tasawuf, dan lain-lain, tetap juga mengembangkan ilmu-ilmu keduniaan ynag sekarang kita sebut sains, seperti ilmu kedokteran, matematika, astronomi, kimia, optika, geografi, dan sebagainya.

Nama-nama yang termasyhur dalam ilmu kedokteran ialah Al-Thabari (abad IX), Al-Razi (865-925 M), Ibn Sina (980-1037 M) dan Ibn Rusyd (1126-1198 M). Selain Ibn Rusyd di Andalus atau Spanyol Islam dikenal juga Al-Zahrawi sebagai ahli bedah pada abad ke-9 M. Dari keturunan Ibn Zur muncul dokter perempuan.

Dalam bidang matematika dikenal Al-Khawarizmi (750-850 M), bapak ilmu aljabar. Dalam bidang astronomi dikenal Al-Fazari yang merupakan astronom Islam pertama.  Ada Ibn Hayyan yang merupakan bapak ilmu kimia yang mengarang buku mengenai konsentrasi air raksa. Dan tentu masih ada banyak lagi ilmuan-ilmuan Islam yang lainnya.

Dalam ilmu pengetahuan alam, ulama-ulama Islam menulis tentang ilmu hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan, antropologi, geografi, geologi, dan lain-lain. Terdapat banyak nama-nama masyhur dalam berbagai bidang, misalnya Al-Jahiz, Ibn Miskawih, dan  Ikhwan Al-Shafa yang mengemukakan teori evolusi jauh tujuh abad sebelum teori evolusi Darwin.

Universitas-universitas didirikan di dunia Islam. Ke sana mahasiwa-mahasiswa dari prancis, inggris, dan lain-lain, datang menuntut ilmu yang dikembangkan ulama-ulama Islam itu. Di antara mahasiswa itu adalah Roger Bacon dan Michael Scott. Buku-buku karangan ulama Islam diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin, dan Toledo menjadi pusat penerjamahan. Penerjemah-penerjemah terkenal adalah Adelard Bath, Gerard Cremona dan lain-lain. pada penutup abad ke-13 M, filsafat dan sains yang dikembangkan ulama Islam itu telah berpindah ke-Eropa. Akibatnya, renaisans pun timbul di benua itu.

Kenyataan sejarah ini diakui oleh penulis-penulis Barat sendiri, misalnya, Alfred Guillaume ketika ia mengatakan:

“Sekiranya orang Arab bersifat ganas seperti orang Mongol dalam menghancurkan api ilmu pengetahuan… Renaisnans di Eropa mungkin akan terlambat lebih dari dari seratus tahun.”

Sementara itu Lebon menulis:

“Orang Islamlah yang menyebabkan orang-orang Eropa mempunyai peradaban. Merekalah yang menjadi guru orang Eropa selama enam ratus tahun tahun.”

Demikianlah universalitas ajaran Islam dan sains yang dikembangkan Islam, sehingga Islam dianut di seluruh dunia, Islam adalah agama universal yang cocok untuk semua tempat dan zaman, untuk semua manusia, bangsa, bahasa, kebudayaan, dan adat istiadat. Berbahagialah orang yang memilih Islam sebagai agamanya. Dan kita wajib memanjatkan puji syukur kehadirat Allah Swt. atas nikmat yang dianugerahkan-Nya kepada kita.[5]

2. Hakikat Kehidupan Manusia

Alangkah murahnya nilai hidup ini, kalau hanya semata-mata terbatas pada kebendaan. Apalah harganya manusia ini, kalau fikirannya hanya tertuju kepada nasi dan gulai. Tak pernah matanya singgah kepada bunga yang sedang mekar atau bintang berkelip di halaman langit.[6]

Beberapa kalimat bermajas di atas menunjukkan sindiran (biasa dikenal dengan majas ironi) terhadap manusia yang tidak memanfaatkan hidupnya sebagaimana mestinya. Menjalani hidup yang tidak sesuai dengan hakikat kehidupan manusia di dunia. Kita sebagai makhluk yang berakal haruslah menjalani hidup ini sesuai dengan hakikat hidup yang sebenarnya.

Membahas tentang hakikat kehidupan manusia, maka sama halnya dengan berbicara mengenai status, fungsi, dan  tugas serta tujuan hidup manusia di dunia ini. oleh karena itu, akan lebih jelas jika langsung diuraikan tentang  hal-hal tersebut.

  1. Status dan Fungsi
  • ‘Abdi (hamba) Allah Swt.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ. (الذاريات : 56)

Artinya:

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah (menyembah) kepada-Ku.”

Dari ayat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa status manusia adalah sebagai ‘abdi (hamba) Allah swt.. Yang dimaksud ‘abdi ialah makhluk yang mau melaksanakan apapun perintah Allah meski terdapat resiko yang besar. ‘Abdi juga tidak akan pernah membangkang terhadap Allah. Dan karena manusia adalah ‘abdi Allah, maka sudah seharusmya manusia senantiasa melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. Sehingga hakikat dari kehidupan manusia di dunia ini ialah amar ma’ruf nahi munkar.

  •  Khalifah fil-ardi

Sesungguhnya ketauhidan manusia adalah fitrah (Q.S. Ar-Rum :30) yang diawali dengan perjanjian primordial dalam bentuk persaksian kepada Allah sebagai Zat pencipta (Q.S. Al-A’raf:172). Bentuk pengakuan tersebut merupakan penggambaran penyerahan diri manusia kepada Zat yang mutlak. Kesanggupan manusia menerima perjanjian primordial tersebut sejak peniupan ruh Allah ke dalam jasadnya di alam rahim memiliki konsekuensi logis kepada manusia untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di dunia kepada Allah sebagai pemberi mandat kehidupan.

Peniupan ruh Allah sekaligus menggambarkan refleksi sifat‑sifat Allah kepada manusia. Maka seluruh potensi ilahiyah secara ideal dimiliki oleh manusia. Prasyarat inilah yang memungkinkan manusia menjadi khalifah di muka bumi. Seyogyanya tugas kekhalifahan manusia di bumi berarti menyebarkan nilai‑nilai ilahiyah dan sekaligus menginterpretasikan realitas sesuai dengan perspektif ilahiyah tersebut.[7]

Hal ini telah di jelaskan pada surat Al-Baqarah ayat 30 yang artinya:” Dan (ingatlah) ketika Tuhan-mu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?”. Dia berfirman, “Sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

Khalifah Allah sebenarnnya adalah perwakilan Allah untuk berbuat sesuai dengan misi yang telah ditentukan Allah sebelum manusia dilahirkan, yaitu untuk memakmurkan bumi. Khalifah yang dimaksud Allah bukanlah sebuah jabatan Raja atau Presiden, tetapi yang dimaksud Allah adalah seorang pemimpin yang mampu memakmurkan alam dengan syari’ah yang telah diajarkan Rasulallah Saw. kepada umat manusia.

Mengetahui akan hal ini, sudah seharusnya manusia melaksanakan fungsi sebagai khalifah fil-ardi ini dengan semestinya, karena hakikatnya manusia adalah pemelihara muka bumi ini.

2. Tugas

Pada bagian akhir NDP bab 8, yakni  Kesimpulan dan Penutup, telah disebutkan bahwa tugas hidup manusia sangatlah sederhana, yaitu: beriman, berilmu, dan beramal.[8]

Hidup yang benar dimulai dengan percaya atau iman kepada Tuhan. Hidup beriman tentu saja personal, pribadi sifatnya. Setiap manusia harus menyadari, tidak bisa tidak, harus punya nilai. Oleh karena itu iman adalah primer. Iman adalah segalanya. Oleh karena iman di situ adalah sandaran nilai-nilai kita. Ini kemudian diungkapkan secara panjang lebar dalam Dasar-dasar Kepercayaan. Kenapa manusia memiliki kepercyaan. Di situ, misalnya, kita menhadapi satu dilema; satu dilema pada manusia, yang dikembangkan dalam syahadat La illaha ilallah. Tiada Tuhan melainkan Allah. Di sini kita bagi dalam dua, nafsu dan itsbat. Artinya negasi dan afirmasi. Jadi tidak ada tuhan selain Allah. Mengenai soal ini, para ulama berselisih mengenai makna Allah ini. maksudnya, ada yang berpendapat bahwa Allah ini isim jamid, yaitu bahwa memang Allah itu begitu adanya; ada yang berpendapat bahwa ini sebetulnya berasal dari kata al-illah kemudian menjadi Allah. Jadi menurut mereka yang berpendapat isim jamid tidak dapat ditejemahkan Allah. Allah tetap Allah. Dan itu banyak pengikutnya.

Buya Hamka juga pernah mempunyai persoalan, ketika ditanya orang “Mengapa Buya Hamka suka bilang Tuhan, kan tidak boleh? Dan mengapa suka bilang sembahyang, bukan shalat? Hamka menjawab, “boleh, sebab Allah itu memang Tuhan, dan shalat juga bisa diterjemahkan menjadi sembahyang”. Beliau mengutip bahwa dulu di Malaya, Allah itu diterjemahkan dengan Dewata Raya dan para ulama tidak keberatan.[9]

Tafsiran Yusuf Ali (orang pakistan) yang diterbitkan oleh Rabithah Alam Islam di Mekkah, menerjemahkan Allah dengan God. Sehingga dalam terjemahan tidak ada sama sekali perkataan Allah. Dan Khomeini seorang pendiri negara Islam di Iran, Konstitusinya dalam versi bahasa inggris, menerjemahkan la ilaaha illa-Allah dengan “there is no god but God”. Hal ini sangatlah penting, karena berimplikasi pada problematika di Indonesia yang tradisi Intelektual Islamnya masih muda sekali. Oleh karena itu perlulah yang namanya keilmuan Intelektual.

Kemudian, berilmu, karena perjalanan menuju Allah, meskipun mengikuti al-shirot- al-mustaqim danberhimpit dengan hati nurani kita, tetapi di situ ada masalah perkembangan. Oleh karena itu harus berilmu, harus mujahadah. Jihad atau mujahadah di sini ada kaitannya dengan ilmu pengetahuan. Semuanya itu tentu saja tidak mempunyai arti apa-apa, sebelum kita amalkan, kita wujudkan dalam amal perbuatan.[10]

Kerja kemanusiaan atau amal saleh merupakan proses perkembangan yang permanen. Perjuang kemanusiaan berusaha mengarah kepada yang lebih baik, lebih benar. Oleh sebab itu, manusia harus mengetahui arah yang benar dari pada perkembangan peradaban disegala bidang. Dengan perkataan lain, manusia harus mendalami dan selalu mempergunakan ilmu pengetahuan. Kerja manusia dan kerja kemanusiaan tanpa ilmu tidak akan mencapai tujuannya, sebaliknya ilmu tanpa rasa kemanusiaan tidak akan membawa kebahagiaan bahkan menghancurkan peradaban. Ilmu pengetahuan adalah karunia Tuhan yag besar artinya bagi manusia. Mandalami ilmu pengetahuan harus didasari oleh sikap terbuka. Mampu mengungkapkan perkembangan pemikiran tentang kehidupan berperadaban dan berbudaya. Kemudian mengambil dan mengamalkan diantaranya yangg terbaik.[11]

3. Tujuan

Dalam melaksanakan segala hal di dunia ini, apakah tujuan dari kesemuanya itu?. Apakah ingin memperoleh pujian dari orang?, atau memperoleh imbalan dari hasil tindakan tersebut?, atau mungkin untuk memperoleh pahala dari sang kholiq?.

Pastilah manusia akan berpikir untuk hal ini. Karena hakikat manusia adalah hewan yang berfikir (al-insanu hayawanun nathiq). Atau seperti yang diungkapkan oleh seorang filsuf penyangsi modern, Rene Descartes (1596-1650) yang berkata, “Cogito ergo sum!” ‘saya berpikir sebab itu saya ada’.[12]

Dan setelah memikirkan akan tujuan hidupnya, maka manusia akan menemukan satu jawaban yang mutlak benar, yakni untuk mencari ridlo illahi. Segala yang telah dan akan dilakukan haruslah berdasarkan hanya karena mencari keridloan-Nya semata.

 

BAB III

PENUTUP

  1. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Islam adalah ajaran yang universal. Islam adalah agama yang sesuai dengan semua tempat dan segala zaman.

  1. Saran

Dalam pembuatan makalah ini, saya sebagai penulis tidak memungkiri adanya kekurangan dan kelemahan dalam makalah ini. Sehingga, masih membutuhkan banyak saran dari  para pembaca. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Aamiin.

[1] Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta; The Wahid Intstitute, 2006), cet. II, hlm. 67.

[2] Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI.

[3] Ibid.

[4] Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung; Mizan, 1996), cet. IV, hlm. 32-34.

[5] Ibid. Hlm.35-36.

[6] Hamka, Pandang Hidup Muslim, (Jakarta; Bulan Bintang, 1992), cet.iv. hlm.78.

[7] Pedoman Perkaderan, BAB I Pola Umum Perkaderan HMI “Landasan Teologis”.

[8] NDP BAB VIII. Kesimpulan dan Penutup

[9] Solichin, HMI Candradimuka Mahasiswa, (Jakarta; Sinergi Persadatama Foundation, 2010), cet.I, hlm.223-224.

[10] Ibid, hlm.235

[11] NDP BAB VIII. Kesimpulan dan Penutup

[12] Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam, (Jakarta; Gema Insani, 2004), cet.I. hlm.8

 

DAFTAR PUSTAKA

Anshari, Endang Saifuddin, 2004, Wawasan Islam, Jakarta; Gema Insani, cet.I.

Hamka, 1992, Pandang Hidup Muslim, Jakarta; Bulan Bintang, cet. Iv.

Nasution, Harun, 1996, Islam Rasional, Bandung; Mizan, cet. Iv.

Solichin, 2010, HMI Candradimuka Mahasiswa, Jakarta; Sinergi Persadatama Foundation, cet.I.

Wahid, Abdurrahman, 2006, Islamku Islam Anda Islam Kita, Jakarta; The Wahid Intstitute, cet. II.

Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI.

NDP BAB VIII. Kesimpulan dan Penutup

Pedoman Perkaderan, BAB I Pola Umum Perkaderan HMI “Landasan Teologis”.

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan komentar